permisiiiii..

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
hanya manusia biasa yang tidak sempurna tapi selalu ingin sesuatu yang luar biasa meskipun sampai harus ke luar angkasa.

Jumat, 14 Agustus 2015

Kembali Menang

Sudah jauh kakiku melangkah di bumi ini, pun penuh kepalaku diisi oleh banyak ide dan pertanyaan akan kehidupan yang ku jalani.
Tapi aku selalu saja punya alasan untuk tidak menuliskannya.

Malas.

Satu tahun lamanya aku tidak menulis apa-apa di blog ini. Rindu rasanya.
Tapi aku selalu saja punya alasan untuk tidak menuliskannya.

Malas.

Orang bijak pernah berkata, "seorang pemenang akan berusaha membuat tujuan dan cara-cara untuk menggapainya, sedangkan seorang pecundang akan berusaha membuat alasan dan cara-cara untuk melewatkannya."

Winners make goals. Losers make excuses.

Aku mau jadi pemenang...

Sudah hampir satu bulan lamanya Ramadhan berlalu, menyisakan hari-hari terakhir di bulan Syawal ini. Bulan yang disebut-sebut sebagai bulan kemenangan. Bulan aktualisasi sekaligus wahana pembuktian setelah diri kita ditempa di bulan Ramadhan. Juga bulan yang senantiasa dikaitkan dengan lahirnya jiwa-jiwa manusia yang kembali suci, selayaknya baru dilahirkan di dunia.

Kurasa seiring berakhirnya bulan Syawal ini bisa aku jadikan momentum untuk kembali.

Kembali mendefinisikan diriku. Siapakah aku? Pemenang kah? Atau Pecundang?

Aku mau jadi pemenang, bukan pecundang. Menjadi pribadi yang senantiasa berpikir matang dan bertindak dengan lantang namun tenang. Juga mampu menuangkan hasilnya ke dalam tulisan.
Dan ini janjiku.

Semoga Allah meneguhkan hati kita dan meluruskan niat kita untuk kembali.
Kembali berjuang menjadi Para Pemenang.
Amin Yaa Rabbal 'Alamin..

Rabu, 27 November 2013

Kita Muda, Bisa, dan Berbahaya

Halo, Kawan!!

Ya, Kawan. Lebih tepat kugunakan untuk merepresentasikan rekan-rekan kerjaku di Pemalang sekitar 9 bulan yang lalu. Terutama penghuni Mess Trans Quality berisikan anak-anak muda yang (mudah-mudahan) berbakat dan bersemangat, meskipun ada beberapa yang tidak bisa dibilang muda, tapi masih berjiwa muda. Hehehe.

Ya, 9 bulan adalah waktu yang cukup bagi seorang ibu mengandung anaknya hingga sang anak siap menghadapi kerasnya dunia persilatan. Begitu pula yang aku alami, 9 bulan ditempa dalam kandungan Proyek PDGT Pemalang dengan segala kelebihan dan kekurangannya, akhirnya tiba masaku untuk lahir ke dunia dan menghadapi berbagai tantangan yang lebih berwarna.

Ya, warna. Mereka telah memberikan titik-titik warna. Titik-titik yang kemudian kurangkai menjadi sebuah garis dan pola dalam mengisi kanvas hidupku.

Pepatah berkata, “pengalaman adalah guru yang paling berharga”, dan kurasakan itu. Pengalaman itu muncul dari sebuah sistem ekologi yang tersusun atas elemen biotik dan abiotik. Tanah, air, angin sepoi-sepoi, serta sinar mentari Pantai Utara Jawa merupakan elemen abiotik dalam pengalamanku di Pemalang. Sedangkan elemen abiotik-nya adalah mereka, ya, mereka. Makhluk-makhluk ajaib yang terdampar bersamaku dengan seragam dan bendera yang sama melebur jadi satu, hingga waktunya aku harus pergi dan menggapai impianku sendiri.

Aku memang egois. Kita memang egois.

Karena sesungguhnya masing-masing dari kita punya mimpi yang harus dan mampu dicapai oleh dan hanya oleh kita sendiri. Tidak dengan siapa-siapa.

Inilah hidup, Kawan!
Keras seperti batu. Tajam seperti pisau. Dan liar seperti kita.
Bukan rimba. Bukan.
Kita lebih liar dari rimba.
Karena kita muda, bisa, dan berbahaya.

Ingat, Kawan!
Kelak akan tiba masamu untuk lahir ke dunia. Dunia baru. Jauh berbeda dengan di dalam kandungan ibu, yang mau tidak mau harus kau hadapi itu.

Ini bukan masalah Sirandu, atau Pemandian Air Panas Guci itu. Ini masalah hidup. Hidupku atau hidupmu. Meskipun tak ada yang tahu apakah kelak hidupku masih akan bertemu lagi dengan hidupmu.

Hiduplah sehidup-hidupnya, Kawan!!

Karena kita muda, bisa, dan berbahaya. 



Tulisan ini kupersembahkan untukmu, Kawanku di Pemalang

Bermimpi Memimpin dengan Hati

Pagi yang indah di Kota Bandung membuatku berpikir ingin jadi apa aku nanti.
Lalu ku buka youtube dari laptop-ku, siapa tau bisa dapat inspirasi.

Ah! Ada cuplikan wawancara Jokowi di Metro TV.
Saat itu masih sebagai Walikota Solo, belum jadi Gubernur DKI, seperti saat ini.

Ini yang kuambil dari video tadi, berupa intisari, agar mudah dipahami.

Suatu kali Bung Karno mencari
Siapa orang paling bernyali
Tersebutlah Bang Ali
Sosok Gubernur Jakarta yang bertangan besi dengan gebrakan di sana-sini

Jauh kemudian di lain penggalan jaman
Jokowi muncul sebagai pemimpin Surakarta yang menyejukkan

Resep mereka sederhana
Ngemong
Yakni mau menaungi kawula
Juga mengadabkan pamongpraja
Mereka membuka mata terhadap kebutuhan warga
Serta membuka hati tanpa alergi pada demonstrasi

Jokowi bukan Bang Ali
Tapi sama bernyali
Menjalankan kebijakan yang mumpuni
Sama berani
Untuk menolak aji mumpung sejawat partai sendiri
Apalagi membangun dinasti

Prestasi Bang Ali dan Jokowi bukan sensasi
Bukan pula berita koran,
tentang gubernur dan bupati yang jadi pesakitan di pengadilan
Mereka cuma mengingatkan Anda,
pejabat terhormat dan politisi terpuji.
Bagaimana caranya mengabdi.


Aku bukan Jokowi, apalagi Bang Ali.
Aku hanya bocah masa kini yang penuh mimpi.

Ya! AKU INGIN MENJADI PEMIMPIN!!
Paling tidak, pemimpin bagi diriku sendiri. Independensi.
Atau pemimpin bagi keluargaku nanti.
Syukur-syukur bisa jadi pemimpin perusahaan terkemuka negeri ini.

Apapun itu,
Aku ingin jadi pemimpin yang selalu bisa mengayomi.
Mungkin tak sehebat Jokowi atau Bang Ali.
Tapi cukup dengan hati.


Terinspirasi dari Mata Najwa Edisi "Nyali Perintis"
Terima kasih. Pagi ini terasa indah sekali.

Senin, 28 Oktober 2013

Sebuah Pengingat, bahwa di Zamanku, Aku Pernah Resah dengan Bangsa Ini

Aku adalah pemuda di zamanku.
Aku adalah pemuda yang akan menentukan nasibku, juga nasib bangsaku.

BUKAN KAU..!!

Apalagi dia, atau mereka.

Kami adalah pemuda di zaman ini.
Kami adalah pemuda yang akan menentukan nasib kami, juga nasib bangsa ini.

BUKAN DIA..!!!
BUKAN MEREKA..!!!

Tapi KAMI, PEMUDA PEMUDI BANGSA INI.



Pemalang, 28 Oktober 2013

Memperingati Hari Sumpah Pemuda, 84 Tahun yang Lalu.

Kamis, 07 Juni 2012

Sepenggal Kisah Seminar Tugas Akhir


Sidang Tugas Akhir, TA, adalah momen paling menentukan dalam perubahan status pendidikan seseorang. Ketika seorang mahasiswa telah lulus dalam Sidang TA-nya, nama panjang mereka akan bertambah panjang dengan embel-embel sarjana di belakangnya.

Tapi sebelum sidang, di Program Studi Teknik Sipil ITB, ada tahap yang dinamakan seminar. Mahasiswa yang telah melaksanakan Seminar TA adalah mahasiswa yang sudah (sangat) dekat dengan Sidang TA. Seminar TA yang sudah gw jalani minggu lalu hanya dapat dihadiri oleh dua dari tiga orang dosen penguji karena salah satunya berhalangan hadir. Dosen penguji gw adalah Pak Er*a, Pak End*a, dan Pak Edw**d. Karena Pak Edw**d tidak dapat hadir, maka beliau meminta gw untuk seminar susulan dengan beliau. Berikut sepenggal kisahnya…

Selasa, 5 Juni 2012
(Percakapan via telepon)
Briawan                : Lif, Pak Edw**d tiba-tiba minta seminarnya malam ini. Soalnya rabu doi mau naik gunung. Gimana? Lo bisa ga? Kapan lo pulang dari Tangerang?
Gw (Alif)              : Jam berapa? Dimana? Gw sih baru pulang jam 4 sore dari sini. Kira-kira jam 7 atau 8 malem lah gw sampe Bandung. Gimana?
Briawan                : Yaudah, entar gw sampein ke doi. Tapi lo siap kan kalo seminar malem ini? Di Ruang Sidang ya!
Gw                         : Siaaap…

Tapi takdir berkehendak lain. Gw baru sampe kampus (Jl. Ganeca No. 10 Bandung) jam setengah 9 malam. Dengan tergesa-gesa, gw langsung berlari ke Ruang Sidang.

Briawan                : Yah, Lif, Pak Edw**dnya baru aja pergi. Ini gw baru beres banget, dan katanya lo seminarnya besok aja. Doi ngga mau kemaleman soalnya hari ini ulang tahun istrinya katanya.
Gw                         : (tertawa sejenak, lalu kembali ke realita) Oh, yaudah. Entar gw ngehubungin doi langsung lah..

Rabu, 6 Juni 2012
(Percakapan via layanan pesan singkat)
Gw                         : Selamat pagi, Pak Edw**d. Saya Alif, mohon maaf, pak, semalam saya baru sampai Bandung jam 20.30 sehingga tidak sempat bertemu bapak. Bagaimana kalau hari ini, pak? Apakah bapak ada waktu untuk seminar susulan saya hari ini? Terima kasih sebelumnya, pak.
Pak Edw**d       : Jam & tempat yang sama dengan Briawan hari ini. Coba koordinasi dengan yang bersangkutan bagaimana menanganinya kemarin.
Gw                         : Baik, pak. Jam 7 malam di Ruang Sidang ya, pak. Sama seperti Briawan tadi malam. Bagaimana, pak?
Pak Edw**d       : OK. Tadinya saya mau ikut Upacara HUT Soekarno CXI di Gn. Galunggung. Namun batal, karena sesuatu hal.

Lalu tibalah saat yang dinanti-nanti.

(Masih percakapan via layanan pesan singkat)
Gw                         : Selamat malam, Pak Edw**d. Sekedar mengingatkan kalau seminar susulan saya malam ini jam 7 di Ruang Sidang. Terima kasih, pak.

Satu jam kemudian…

(Masih percakapan via layanan pesan singkat)
Gw                         : Maaf Pak Edw**d, apakah bapak jadi datang malam ini untuk menjadi penguji seminar Tugas Akhir saya? Terima kasih, pak.

Satu jam kemudian, gw memutuskan untuk menelepon sang bapak dengan harapan beliau akan ingat kalau ada seorang mahasiswa yang menunggu kedatangannya di Ruang Sidang pada jam 9 malam, seorang diri. SEORANG DIRI dan TIDAK DIANGKAT.

Akhirnya gw pulang ke kosan dengan tangan hampa (sebenernya bawa laptop, draft proposal, dan segala perangkat seminar, sih..)

Kamis, 7 Juni 2012
(Jam 00.00, percakapan via layanan pesan singkat)
Pak Edw**d       : Alif, sorry. Apakah bisa diundur ke pagi ini di Jakarta atau sore di Bandung lagi? Saya ke Jakarta jam 04.00 tapi harus ke Bali take-off jam 19.00 dari Husein Sastranegara Bandung.
Gw                         : (wah, Jakarta? Gak masuk akal..) Kira-kira yang paling memungkinkan sih sore ini di Bandung, pak. Waktunya mungkin sebisanya bapak aja. Kira-kira setelah bapak dari Jakarta dan masih ada cukup waktu untuk siap-siap ke Bali. Mengenai ruangan akan saya usahakan. Tapi jika tidak dapat ruangan dari TU mungkin kita dapat menggunakan studio TA di dekat HMS. Bagaimana, pak?
Pak Edw**d       : OK. I’ll keep you informed of my schedule. TA, bro!

Hah? Apa gw salah baca sms, ya? Pake bro-bro-an segala nih bapak.

(Jam 12.15, percakapan via layanan pesan singkat)
Pak Edw**d       : Saya menuju Hotel Mandarin. Ada meeting jam 1 PM, setelah itu naik Travel CityTr*ns. Saya infokan nanti, ya Alif!
Gw                         : Baik, pak.

Jam 16.50, dan belum ada kabar lagi dari beliau.

(Jam 16.55, percakapan via layanan pesan singkat)
Gw                         : Maaf Pak Edw**d, apakah masih memungkinkan saya seminar di depan bapak hari ini? Mengingat bapak harus mengejar pesawat malam ini. Terima kasih, pak.
Pak Edw**d       : Saya sudah di Cikampek, masuk Bandung 19.02. Apa yang terjadi terhadap Alif kalau saya baru efektif di Bandung pada hari Selasa 12 Juni?
Gw                         : Sebenarnya saya masih bisa melanjutkan TA saya meskipun baru bisa seminar dengan bapak hari selasa. Tapi mungkin yang saya kerjakan pada TA saya hanya berdasarkan rekomendasi pada seminar dengan Pak Er*a dan Pak End*a kemarin. Jika bapak tidak berkeberatan dengan hal ini, maka saya akan melanjutkan TA saya hingga 12 Juni nanti akan saya presentasikan progress-nya kepada bapak. Bagaimana kira-kira, pak?
Pak Edw**d       : OK, sebagai tambahan, silahkan berkomunikasi dengan rekanmu Briawan tentang apa saja yang saya tanyakan/komentari. Point-point yang saya tanyakan, carikan kemiripannya dengan kasus yang Alif bahas dalam TA.
                                Sampai jumpa pada saat Ujian Sarjana.

Dan gw ngakak seketika, hahahahahahahaha. Seminar gw selesai hanya dengan sms??? 

Senin, 13 Februari 2012

Sah-sah Saja, Asalkan Tidak Sampai Fitnah

Peraturan :
Pada tulisan kali ini, jika kalian menemukan kata sah-sah saja, kalian boleh melanjutkan membaca kemudian hanya menebak-nebak akhir dari tulisan ini. Namun jika kalian sudah menemukan kata tidak sah, kalian harus berhenti membaca. Setuju?

Manusia secara alamiah memiliki rasa ingin tahu yang besar serta mampu berpikir hal-hal yang bahkan tidak mampu dilihatnya secara kasat mata. Itulah gunanya akal pikiran kita. Dampak dari itu semua, akhirnya manusia hanya mampu memikirkan hal-hal yang memang tidak mampu dilihatnya. Terlebih hal-hal yang amat diinginkan untuk diketahui.
Itu sah-sah saja.
Menjadi bermasalah adalah saat manusia sudah tidak mau lagi berpikir tentang apa yang tidak mampu dilihatnya dan kemudian manusia mengambil jalan pintas untuk itu. Berasumsi.
Itu sah-sah saja.
Menjadi semakin bermasalah adalah ketika asumsi yang dipakai adalah asumsi yang dasar pemikiriannya lemah, atau bahkan tidak berdasar. Ya, berandai.
Itu juga sah-sah saja.
Bentuk pengandaian ini akan menjadi masalah jika apa yang diandaikan oleh satu manusia salah diinterpretasikan oleh manusia yang lainnya.
Itu masih sah-sah saja.
Tetapi jika salah interpretasi ini menyebabkan masalah lain yang jauh lebih besar, ini baru tidak bisa dibilang sah-sah saja. Inilah buah pikiran yang berujung pada terjadinya masalah. Untuk kasus ini gw menyebutnya dengan nama prasangka buruk. Su'udzon bahasa Arabnya.
Itu jelas tidak sah.

------Ini bukan bagian yang boleh kalian baca.
Kalau ini dilanjutkan, prasangka buruk akan berubah menjadi hal yang lebih buruk. 
Fitnah. 

Selasa, 22 November 2011

Kebenaran vs. Logika

Menarik!
Itulah kata yang bisa gw ucapkan saat diskusi mengenai sejarah kebudayaan Islam itu berjalan. Bukan hanya karena gw pribadi adalah seorang muslim, tapi juga karena gw merasa ada sebagian diri gw yang haus akan kebenaran. Jadi gw mohon maaf jika di sini gw ternyata tidak akan banyak membual tentang sejarah. Sama sekali.

Yah, kebenaran memang tidak selalu bisa dibuktikan dengan logika. Kebenaran adalah sesuatu hal yang harus diyakini, ditaati, dan dipatuhi, meskipun kadang sesuatu yang benar itu tidak sejalan dengan akal pikiran kita saat ini.

Sebenarnya diskusi tadi memang hanya membahas mengenai sejarah (gw ingatkan kembali). Namun lucu rasanya jika kita tidak meyakini apa yang benar-benar terjadi kala itu sehingga kita bisa menarik hikmah kemudian menerapkannya dalam kehidupan hari ini dan masa yang akan datang.

Teringat perkataan seorang teman, agak aneh rasanya jika ada orang yang mengetahui dan memahami, atau mungkin meyakini bahwa ada sesuatu yang benar namun tidak pernah (atau jarang) dilakukannya. Sebagai contoh, agak aneh rasanya ketika kita diperingatkan bahwa ada bom di dalam sebuah ruangan tempat kita berdiri namun kita tetap tidak melarikan diri dan menganggap tidak terjadi apa-apa.

Menurut gw pribadi, kalau kita yakin bahwa bom tersebut akan meledak dalam waktu dekat ini, seharusnya kita segera berlari dan menyelamatkan diri, karena jika bom itu meledak dan kita belum sempat melarikan diri maka kita pun akan ikut terbakar dan mati. Hal ini logis dan rupanya hal ini sudah dapat dibuktikan dengan fisik dan sudah sangat menjadi common sense diantara kita sesama manusia.

Lalu bagaimana dengan perintah agama yang belum pernah ada manusia di bumi ini yang pernah membuktikannya. Yang gw bicarakan di sini bukan hanya perkara ancaman hukuman ataupun janji kenikmatan dari Tuhan. Tapi lebih dari itu, konsekuensi yang menurut gw (lagi-lagi) amat logis.

Mari sejenak kita belajar kembali matematika dasar.
Dalam ilmu logika matematika, terdapat istilah implikasi yang biasanya dikenal dengan premis jika-maka dan disimbolkan dengan p -> q, artinya jika p, maka q. Dimana p adalah hipotesa dan q adalah konklusi. Sedangkan kontraposisi dari implikasi p -> q adalah ~q -> ~p, artinya jika tidak q, maka tidak akan p.

"Jika engkau mematuhi perintah Tuhanmu, maka surga balasannya."

Begitulah bunyi premis perintah agama yang biasa kita dengar dan ketika premis di atas dibuat kontraposisinya kira-kira beginilah bunyinya.

"Jika bukan surga balasannya, maka engkau tidak mematuhi perintah Tuhanmu."
atau dalam bahasa yang lebih ekstrim dan jelas.
"Jika dibalas dengan neraka, artinya engkau tidak mematuhi peruntah-Nya."

Apakah yang demikian itu tidak logis?
Atau memang kita hanya membutuhkan pembuktian fisik?
Lalu adakah salah satu dari kita yang mampu membuktikan itu?
Atau kita hanya menunggu hal itu mampu menjadi common sense dengan sendirinya?

Gw rasa setiap orang beragama harusnya mampu menjawab setiap pertanyaan di atas.
Lain halnya jika definisi kata beragama yang gw miliki berbeda dengan orang lain. Gw rasa tidak demikian.