permisiiiii..

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
hanya manusia biasa yang tidak sempurna tapi selalu ingin sesuatu yang luar biasa meskipun sampai harus ke luar angkasa.

Selasa, 22 November 2011

Kebenaran vs. Logika

Menarik!
Itulah kata yang bisa gw ucapkan saat diskusi mengenai sejarah kebudayaan Islam itu berjalan. Bukan hanya karena gw pribadi adalah seorang muslim, tapi juga karena gw merasa ada sebagian diri gw yang haus akan kebenaran. Jadi gw mohon maaf jika di sini gw ternyata tidak akan banyak membual tentang sejarah. Sama sekali.

Yah, kebenaran memang tidak selalu bisa dibuktikan dengan logika. Kebenaran adalah sesuatu hal yang harus diyakini, ditaati, dan dipatuhi, meskipun kadang sesuatu yang benar itu tidak sejalan dengan akal pikiran kita saat ini.

Sebenarnya diskusi tadi memang hanya membahas mengenai sejarah (gw ingatkan kembali). Namun lucu rasanya jika kita tidak meyakini apa yang benar-benar terjadi kala itu sehingga kita bisa menarik hikmah kemudian menerapkannya dalam kehidupan hari ini dan masa yang akan datang.

Teringat perkataan seorang teman, agak aneh rasanya jika ada orang yang mengetahui dan memahami, atau mungkin meyakini bahwa ada sesuatu yang benar namun tidak pernah (atau jarang) dilakukannya. Sebagai contoh, agak aneh rasanya ketika kita diperingatkan bahwa ada bom di dalam sebuah ruangan tempat kita berdiri namun kita tetap tidak melarikan diri dan menganggap tidak terjadi apa-apa.

Menurut gw pribadi, kalau kita yakin bahwa bom tersebut akan meledak dalam waktu dekat ini, seharusnya kita segera berlari dan menyelamatkan diri, karena jika bom itu meledak dan kita belum sempat melarikan diri maka kita pun akan ikut terbakar dan mati. Hal ini logis dan rupanya hal ini sudah dapat dibuktikan dengan fisik dan sudah sangat menjadi common sense diantara kita sesama manusia.

Lalu bagaimana dengan perintah agama yang belum pernah ada manusia di bumi ini yang pernah membuktikannya. Yang gw bicarakan di sini bukan hanya perkara ancaman hukuman ataupun janji kenikmatan dari Tuhan. Tapi lebih dari itu, konsekuensi yang menurut gw (lagi-lagi) amat logis.

Mari sejenak kita belajar kembali matematika dasar.
Dalam ilmu logika matematika, terdapat istilah implikasi yang biasanya dikenal dengan premis jika-maka dan disimbolkan dengan p -> q, artinya jika p, maka q. Dimana p adalah hipotesa dan q adalah konklusi. Sedangkan kontraposisi dari implikasi p -> q adalah ~q -> ~p, artinya jika tidak q, maka tidak akan p.

"Jika engkau mematuhi perintah Tuhanmu, maka surga balasannya."

Begitulah bunyi premis perintah agama yang biasa kita dengar dan ketika premis di atas dibuat kontraposisinya kira-kira beginilah bunyinya.

"Jika bukan surga balasannya, maka engkau tidak mematuhi perintah Tuhanmu."
atau dalam bahasa yang lebih ekstrim dan jelas.
"Jika dibalas dengan neraka, artinya engkau tidak mematuhi peruntah-Nya."

Apakah yang demikian itu tidak logis?
Atau memang kita hanya membutuhkan pembuktian fisik?
Lalu adakah salah satu dari kita yang mampu membuktikan itu?
Atau kita hanya menunggu hal itu mampu menjadi common sense dengan sendirinya?

Gw rasa setiap orang beragama harusnya mampu menjawab setiap pertanyaan di atas.
Lain halnya jika definisi kata beragama yang gw miliki berbeda dengan orang lain. Gw rasa tidak demikian.

Rabu, 17 Agustus 2011

tujuh belas


Tujuh belas Ramadhan.
Pertama kali Al-Qur'an diturunkan ke bumi melalui malaikat Jibril.
Hingga hari itu disebut sebagai hari yang istimewa; Nuzulul Qur'an.

Tujuh belas rakaat.
Adalah jumlah rakaat shalat wajib dalam satu hari satu malam.
Subuh: dua; Dzuhur: empat; Ashar: empat; Maghrib: tiga; Isya: empat.

Tujuh belas tahun.
Pertama kali gw difoto dan diminta tanda tangan untuk KTP.
Pertama kali juga gw berhasil memperoleh SIM A dan SIM C sekaligus.
Bahkan gw diberi kesempatan untuk menentukan nasib bangsa ini dengan memilih calon presiden republik ini.

Kini gw tahu kenapa hari kemerdekaan Indonesia jatuh pada tanggal tujuh belas.

Dirgahayu Indonesiaku!

Sabtu, 06 Agustus 2011

Tidak Mati = Abadi ?

Selama tiga tahun terakhir ini gw mencoba menarik sebuah hipotesis atas apa yang telah dan sedang terjadi di tempat gw bernaung saat ini, ya, kampus Institut Teknologi Bandung. 
Bahwa kegiatan-kegiatan yang berbau, berasa, serta berwarna "kemahasiswaan" selalu ada di sini, ya, di kampus Institut Teknologi Bandung. 
Ya, di kampus Institut Teknologi Bandung terdapat jiwa-jiwa mahasiswa yang tidak pernah mati, bahkan untuk tidur saja pun diper-sulit.

Apakah jiwa-jiwa mahasiswa yang tidak pernah mati adalah jiwa-jiwa yang abadi?

Apakah bau, rasa, serta warna ini adalah bau, rasa, serta warna yang abadi?

Dan apakah sesuatu yang tidak pernah mati adalah sesuatu yang abadi?



Terinspirasi oleh sebuah perhelatan besar yang baru saja berakhir,
PROKM-ITB 2011

Jumat, 15 Juli 2011

Satu Kosong; Sebuah Realita

Di suatu siang yang panas di bilangan Jakarta Barat, gw sedang duduk di belakang setir mobil sambil mengendarainya menuju arah tol Tangerang. Di samping kanan gw, Icang, partner Kerja Praktek gw di Greenbay Pluit Project, tengah duduk sembari jemarinya bermain dengan handphone barunya.

Tiba-tiba mobil yang sedang gw kendarai diminta untuk menepi oleh seorang bapak aparat penegak hukum sekaligus pelayan masyarakat. Berikut kutipan percakapannya.

Sambil membuka kaca, “selamat siang pak. Ada apa ya?”

“Siang, Mas. Mas bukan orang sini ya?”

“Iya Pak, kami dari Bandung. Tapi mau ke arah Tangerang. Memangnya ada apa ya, Pak?”

“Begini Mas, tadi Mas pindah jalur dari kiri ke kanan sehingga memotong laju kendaraan yang datang dari sebelah kanan. Itu tidak diperbolehkan Mas kalau di sini.”

“Oh, lalu kalau saya mau masuk tol Tangerang harus lewat mana ya pak? Soalnya saya tadi lihat papan penunjuk jalan kalau arah tol Tangerang itu lewat sini. Jadi kami yang saat itu sedang ada di jalur kiri harus pindah jalur ke kanan agar bisa masuk tol, Pak. Kalau nggak seperti itu bagaimana kami bisa menuju Tangerang? Lagipula kami tidak melanggar marka jalan kan, Pak?”

“Iya, Mas memang tidak melanggar marka jalan, tetapi Mas seharusnya tidak berpindah jalur karena untuk bisa menuju tol Tangerang nggak hanya lewat sini. Di depan sana (sambil menunjuk) akan ada lampu merah, kemudian Mas bisa belok kanan untuk masuk tol Tangerang.”

Wah, kalau gini ceritanya pasti semua orang yang bukan orang sini bakalan ngelanggar dong..
Bisa aja nih si Bapak.. (Ini suara hati gw saat itu)

“Jadi gimana nih, Mas?”

Gimana apanya, Pak?”

“Mas mau saya tilang?”

Ini si Bapak ngelawak apa serius sih? Lucu juga nih si Bapak. (Suara hati gw berpikir kalau ini natural)

“Lah, kalau saya memang salah menurut Bapak, silahkan tilang saya, pak!”

“Kalau ditilang mas harus datang ke pengadilannya loh. Mas bisa datang tanggal 22 Juli nanti?”

“Pengadilannya dimana ya, Pak?”

“Pengadilan Jakarta Barat sini. Dekat kan? Gimana?”

“Oke saya bisa kok, Pak. Tanggal 22 Juli kan, Pak?”

Kemudian si Bapak tampak sedang mengontak rekannya dengan alat handy talkie. “Tanggal 15 Juli bisa, Mas?”

“Wah, kenapa berubah, Pak? Tadi katanya tanggal 22 Juli..”

“Ternyata pengadilan baru bisa diadakan setelah seminggu dari waktu penilangan. Tapi jika terlalu lama juga kemungkinan pengadilannya juga nggak mau ngurusin. Nah, kebetulan seminggu dari hari ini adalah tanggal 15 Juli. ”

Aduh, tanggal 15 Juli kan ada wisuda HMS. Gimana yah? (Suara hati gw pun muncul lagi. Kali ini belum mulai muncul rasa curiga)

“Wah, saya nggak bisa kayaknya, Pak kalau tanggal 15 Juli. Saya ada wisuda. Saya kan mahasiswa, Pak. Gimana kalau tetap tanggal 22 Juli aja, Pak?”

“Jadi sebenarnya Mas ini mau ditilang atau nggak sih? Kok diminta untuk sidang nggak mau.”

“Kalau memang menururt Bapak saya salah, ya saya harus mau, Pak. Tapi saya bisanya tanggal 22 itu.”

“Wah, nggak bisa, Mas. Ini prosedurnya. Kalau memang nggak bisa datang, bisa titip kok.”

Ini udah mulai nggak bener nih.. (Suara hati gw mulai merasakan kejanggalan)

“Titip apa ya, Pak?”

“Ya titip denda, Mas. Jadi Masnya nggak perlu datang waktu sidang tanggal 15 Juli nanti tapi dendanya bisa tetap dibayar. (sambil menunjukkan ke gw surat tilang yang terdapat nominal denda yang cukup besar. Berkisar lima puluh ribu sampai satu juta rupiah)”

Tuh kan nggak bener.. (Suara hati gw emang yahud!)

“Aduh, Pak. Tanggal 22 aja yah, Pak. Saya betul-betul nggak bisa kalau tanggal 15. Tapi saya merasa jika saya memang salah saya harus disidang, Pak.”

Nggak bisa nih, Mas. Kalau mas mau disidang ya tanggal 15 Juli. Selain itu tidak bisa. Gimana, Mas? Saya nggak bisa lama-lama nih karena saya masih harus bertugas lagi. Nggak enak juga dilihat orang kalau lama-lama.”

Hah? Nggak enak? Kok negakkin peraturan malah nggak enak?. Udah nggak bener nih si Bapak. (Suara hati gw makin yakin kalau kondisi si Bapak saat ini sedang di atas angin lantaran gw seakan sedang berada dalam tekanannya.)

Gimana, Mas? Mau tetap sidang tanggal 15 atau titip sidang saja? Saya sudah tidak ada waktu lagi ini.”

“Mmm. Oke, Pak. Saya usahakan bisa datang tanggal 15 Juli.”

“Jangan “diusahakan”, harus dong kalau gitu! Nanti kalau surat ini sudah masuk pengadilan tapi Masnya nggak datang kan repot di saya. Kecuali Masnya sudah nitip sidang, lain ceritanya.”

“Oke, saya bisa datang, Pak.” (Ekspresi gw gw buat seakan-akan gw yakin secara tiba-tiba)

Bener nih, Mas? Kalau saya sudah menulis di surat tilang ini, Masnya harus benar-benar datang.” (Ekspresi si Bapak seketika berubah pucat)

“Bener, Pak. Saya rela mengorbankan wisuda saya karena kesalahan saya ini. Yah, jika memang saya benar-benar salah.”

Hahahahahaha. Dapet nih! (Suara hati gw mulai menunjukkan kemenangan.)

“Ah, Masnya keliatan nggak yakin nih buat datang sidang. Nanti percuma saya tulis disini ternyata Masnya nggak datang. Rugi di saya kalau begitu. Ya sudah, Masnya nggak usah saya tilang saja. Lain kali jangan diulang lagi ya!”

Hahahahahahahahaha. Ngakak gw! (Dengan suara hati tentunya.)

“Oh, terimakasih, Pak. Maafkan kami jika memang kami salah. Tenang aja, Pak, kami berusaha untuk tetap taat sama aturan kok. Selamat siang, Pak. Selamat melanjutkan tugas kembali.”

Kemudian gw menutup kaca seraya menginjak pedal gas lalu berteriak bersama-sama dengan Icang,

“Satu kosong booooyyyy..!!!!”

*Sayang seribu sayang si Icang nggak sempat merekam percakapan ini. Tapi gw jamin ini 100% nyata. Kalau nggak percaya, silahkan tanya si Bapak Pelayan Masyarakat itu atau mungkin teman-temannya.

Kamis, 07 Juli 2011

Semanis Brownies

6 Juni - 6 Juli 2011

Adalah waktu yang amat berharga untuk dilewati sekaligus amat menarik untuk diceritakan. Mengapa? Karena selama rentang waktu itu gw beserta partner gw, Fardy Muhammad Ichsan Sukirman (NIM 15008004), berusaha saling melengkapi satu sama lain demi terselesaikannya Kerja Praktek di Greenbay Pluit Project dengan baik, atau dalam bahasa kami, dengan manis, semanis brownies.


Kalau bicara soal Greenbay Pluit, mending kalian buka Greenbay Pluit aja biar lebih jelas. Tapi seperti kelompok-kelompok yang lainnya, kami juga melakukan kegiatan Kerja Praktek ini di salah satu perusahaan kontraktor terbesar di Indonesia. Tidak bermaksud melebih-lebihkan, tapi fakta bicara demikian. Hahaha.

Namanya PT. Total Bangun Persada. Sebuah kontraktor swasta yang saat ini sedang menangani 15 proyek sekaligus se-Indonesia ini yang bersedia menampung kami-kami ini yang haus akan ilmu (baca: gw dan Icang) untuk belajar sekaligus "mencuri" data selama sebulan, tidak lebih tidak kurang.
Terimakasih kepada Ibu Keyma, Pak Agung, Pak Wahyu, Pak Rushendi, Pak Punguan, Pak Irwanto, Pak Dwi, Pak Bayu, Pak Adri, Pak Sinaga, Pak Budi, Pak Awan, Pak Udin, Pak Micky, Pak Sas, Pak Anggoro, Pak Eric, Ibu Dwi, Ibu Winda, Pak Yandrie, Pak Bambang, Pak Tarsim, Pak Toto, Ibu Desi, Ibu Wanti, Pak Nurjaya, Pak Zul, Pak Wardi, Pak Santos, Aa Yumi, juga teman-teman seperjuangan dari UI (Dila, Inal, dan Reza) dan dari UNPAR (Andy, Alvin, dan Naldy), serta yang pasti Pak Henry, yang senantiasa rela "diganggu" oleh kami yang haus ilmu ini. *lebay

Oke. Singkat cerita gw dan Icang melalui hari-hari di proyek selama sebulan bersama bapak-bapak dan rekan-rekan yang tadi sudah gw sebutkan satu persatu. Hingga tibalah waktu jua yang memisahkan kita.

Sebelum kami berpisah, gw dan Icang berpikir untuk membelikan sesuatu yang cukup menggambarkan rasa terimakasih gw kepada mereka. Dan pilihannya jatuh kepadaaaaa.....

Brownies "Amanda"

Ketika itu gw berpikir mengenai kue manis itu. 
Brownies, menurut situs The Amazing of Brownies, menurut kabar, terciptanya brownies adalah karena ketidaksengajaan alias lalainya sang pembuat dalam mengolah kue dan memasukkan baking powder. Sehingga, kue cokelat yang hendak dibuatnya menjadi tidak mengembang. Namun sayangnya justru karena "ketidaksengajaan" itu malah membuat resep brownies ini ingin disebarluaskan. Resep brownies pertama kali dipublikasikan tahun 1897 di Sears, Roebuck Catalogue. Dalam sejarah kuliner, brownies termasuk katagori cookie, kue kecil berbahan dasar tepung, rasanya manis, dengan tekstur lembut dan renyah.

Yap, meskipun ini dengan "sengaja", finally gw dan Icang memutuskan untuk mengakhiri Kerja Praktek manis dengan orang-orang termanis ini dengan sesuatu yang manis. Semanis brownies.

Minggu, 29 Mei 2011

Frustrasi, bukan Frustasi!

Awalnya cuma gara-gara gw ngerjain suatu teka-teki silang di koran Kompas pagi ini, tapi malah jadi kepikiran dan membuat gw pengen nulis di sini.
mendatar :
28. Kecewa karena gagal meraih suatu cita-cita; 9 kotak.
Tadinya gw berpikir jawabannya adalah "frustasi". Namun ternyata kata "frustasi" hanyalah terdiri dari 8 huruf sedangkan yang dicari harus terdiri dari 9 kotak. Bahkan gw sempat berpikir kalau soalnya yang salah atau kotaknya salah.
Tapi kemudian gw terinspirasi untuk menggunakan sebuah search engine paling terkemuka di dunia (saat ini) yaitu Google. Inilah hasil pencariannya :


Ternyata memang ada kata "frustrasi" dan bukanlah "frustasi". Bahasa "frustasi" hanyalah bahasa yang seringkali kita gunakan namun sebenarnya bukanlah bahasa baku (meskipun Google menganggapnya benar). Sedangkan "frustrasi"-lah yang sebenarnya bahasa Indonesia yang baku dan ada maknanya dalam KBBI.
Dalam KBBI, "frustrasi" bermakna: [n] rasa kecewa akibat kegagalan di dl mengerjakan sesuatu atau akibat tidak berhasil dl mencapai suatu cita-cita: -- dapat timbul apabila jurang antara harapan dan hasil yg diperoleh tidak sesuai.
Dengan demikian, cocok sudah kata ini dengan pertanyaan pada soal teka-teki silang Kompas sehingga gw bisa melanjutkan pengerjaan TTS dengan riang gembira (nggak juga sih..).

FRUSTRASI
Menurut Drs. H. Ahmad Fauzi (juga menurut Google) dalam bukunya yang berjudul Psikologi Umum, ternyata ada tiga jenis frustrasi, yakni:
1. Frustrasi Lingkungan
---Frustrasi yang disebabkan oleh halangan /rintangan yang terdapat dalam lingkungan (faktor eksternal).
2. Frustrasi Pribadi
---Frutrasi yang tumbuh dari ketidakpuasan seseorang dalam mencapai tujuan dengan perkataan lain frustrasi pribadi ini terjadi karena adanya perbedaan antara tingkatan aspirasi dengan tingkatan kemampuannya.
3. Frustrasi Konflik
---Frustrasi yang disebabkan oleh konflik dari berbagai motif dalam diri seseorang. Dengan adanya motif saling bertentangan, maka pemuasan dari salah satu motif akan meyebabkan frustrasi bagi motif yang lain.

Sebenarnya gw juga agak nggak ngeh soal psikologi, tapi di sini paling tidak gw nggak sia-sia melakukan suatu pencarian terhadap satu kata dalam bahasa Indonesia yang (baru) gw tahu hari ini.

Intinya. 
Jadi buat teman-teman semua, gw cuma bisa ngasih tau kalau bahasa kita itu masih sangat besar peluang untuk kita explore lebih dalam lagi dan cari tahu lebih banyak lagi. Jangan cuma menjadi user terhadap bahasa kita sendiri, tapi jadilah owner sehingga kita mampu berbuat lebih banyak untuk Ibu Pertiwi.

Sabtu, 07 Mei 2011

Djogja 40 jam; sebuah perjalanan

From Bandung to Djogja (21-22 April 2011)

Berawal  dari konflik batin antara diri gw dengan banyak hal yang terjadi di sekitar gw, akhirnya gw putuskan untuk pergi ke Djogja seorang diri!!

Sebenarnya prinsip yang gw pegang sangat mudah, “work hard, play must be harder.” Hehehe..
Dimulai dengan diantar Andi ke stasiun Kiaracondong jam 7 malam setelah sebelumnya makan dulu di angkringan versi Bandung. Jam 07.30 sampai di stasiun lalu mulai menunggu hingga jam 08.50-an akhirnya keretanya datang.

Penumpang kala tu membludak. Maklum, namanya juga long weekend, bahkan gw hampir aja nggak terangkut kereta. Alhamdulillah gw masih diizinkan sama Allah untuk tetap berangkat ke Djogja saat itu. Sebenarnya gw cuma dapat “tempat jongkok” (karena memang nggak ada kursinya) di sebuah gerbong yang seharusnya tidak diperbolehkan adanya penumpang disana. Tetapi karena ini adalah special case maka mau nggak mau diperbolehkan juga sama para bapak petugas kereta.

Djogja; the magnificent city (22 April 2011)

Jam di hape Nokia tipe X3-O2 gw menunjukkan angka 7.00 saat gw tiba di stasiun Lempuyangan Yogyakarta. Setelah selesai bebersih dan solat subuh (namanya juga musafir), gw kemudian menunggu djemput oleh Sdr. Tomy Novendri, sahabat sekaligus tour guide  gw di wisata gw kali ini, yang baru datang setelah satu jam kemudian.

Nggak lama kemudian, gw langsung diajak sarapan kombinasi nasi putih-telur dadar-sambal-es milo-gorengan di (tempat yang baru pertama gw denger namanya) Burjo di dekat rumah kontrakan Tomy. Menurut tour guide yang gw sewa, Burjo adalah istilah untuk warung indomie, warung kopi, warung nasi, dan warung bubur kacang ijo yang digabung menjadi satu dan berlaku di setiap sudut kota Djogja!

Oke, tampaknya harus ada beberapa bagian dalam cerita ini yang gw sensor. Misalnya pas gw mandi, ganti baju, dan beberapa hal detail lagi sepertinya nggak perlu gw ceritakan lah yaaaaa....

Lanjut pada saat sore hari gw langsung diajak Sdr. Tomy menuju Benteng Vredeburg. Rencananya sih disana ada sahabat gw juga yang menanti. Sebut saja Sigit (nama sebenarnya). Ternyata oh ternyata ketika gw sampai di benteng, pintu masuk benteng sudah ditutup! Sial! Akhirnya untuk mengobati luka hati gw, Tomy pun menawarkan jasanya untuk mengambil beberapa gambar Benteng Vredeburg disertai dengan adanya gw sebagai penampakan di sana. 


Setelah mengambil cukup gambar (total: 2 foto), bertemu lah kami dengan Bung Sigit. Wah, tidak banyak berubah dia. Hanya saja logatnya sudah menjadi logat wong djogjo.

Git, makan yang enak dimana nih?”, gw akhirnya bertanya setelah dari tadi menahan lapar yang amat sangat menyiksa. Seketika pula Sigit mengajak kami (gw dan Tomy) ke sebuah toko batik di daerah sekitar sana bernama Mirota Batik

Orang laper ko dibawa kesini sih...”, gw bergumam pelan.

Santai liif..”, timpal Sigit. 

Ternyata setelah masuk dan dibawa ke lantai paling atas di toko itu barulah gw terkejut sekaligus terpesona dengan keunikan tempat itu. Ada roof top restaurant di sana. Suasananya pun cukup cozy apalagi dengan sajian menu khas djogja yang amat mengundang selera. Langsung aja gw pesan nasi gudeg dan susu jahe dengan total harga 14.500 rupiah. Mmmm...sepertinya gw nggak perlu njelasin lagi apa itu gudeg dan susu jahe ya kaaan?

Lagi asyik-asyiknya berbincang, tiba-tiba lampu restoran dipadamkan dan lampu panggung di dekat meja kami makan pun dinyalakan. Oooohhh, ternyata akan ada pertunjukkan kabaret malam ini. Tapi ko...gw menangkap sinyal-sinyal keganjilan di sana. Rupanya yg bermain kabaret adalah B to the A to the N to the C to the I alias BANCI!! Sial! Tapi yang justru lebih mengherankan adalah penonton yang hadir di sana kala itu (selain kami bertiga) nampak sangat excited. Namun nggak lama setelah itu teman kami satu lagi, Nurmin (ini baru bukan nama sebenarnya), akhirnya menelpon dan bilang bahwa dia sudah menunggu di alun-alun. Oke, kita cabut daripada makin malam panggung ini (bisa saja) menjadi makin liar...raawwrrrr.!

 ini nih menu utama malam itu

Malam itu begitu indah ketika gw merasa keputusan yang gw ambil adalah keputusan yang amat tepat. Makanya saat gw sampai di alun-alun kidul a.k.a. alkid, gw langsung memesan semangkok wedang ronde seharga 5000 rupiah seraya mengambil hape X3-O2 gw dan mengirimkan sebuah pesan singkat ke beberapa sahabat gw yang sedang ada di Bandung kala itu. Sebenarnya gw gak pengen nyebut nama mereka, tapi karena ada request akan gw sebutkan satu persatu. Sahabat-sahabat gw yang sedang tidak beruntung waktu itu (menurut gw) adalah Dikka Bayu Prihananta (NIM 15008062), Aditya Ramadhan (NIM 15008061), dan, ini yang menurut gw paling kasian (haha), Mohamad Ashyari Sastrosubroto (NIM 15008028). Mengenai isi sms-nya sepertinya mereka bertiga lebih hafal daripada gw pribadi. Hahaha..

Oke, cukup untuk hari pertama gw di Djogja dan seperti yang sudah gw katakan sebelumnya akan ada bagian-bagian tertentu yang gw sensor.....45$%#$$%#$^&*(&

Selamat pagi kota pendidikan!! (23 April 2011)

Disinilah kota pertama kali NKRI benar-benar dibentuk. Maka dari itu tak heran ketika Presiden Soekarno saat itu melakukan suatu Ijab Qobul (serah terima) kekuasaan yang sampai hari ini masih disepakati oleh masyarakat Djogja sehingga ketika Presiden SBY beberapa waktu yang lalu menginginkan sistem gubernur yang dipisah oleh sistem kraton, wong djogjo pun menolaknya.

Oke, kembali ke perjalanan wisata gw yang bertajuk Alone in Djogja.

Setelah cukup sarapan pagi di depan kampus UII, bukan NII, gw dan tour guide gw (Tomy) langsung tancap gas ke arah Pantai Sundak, kira-kira 1.5-2 jam dari kota Yogyakarta. Perjalanan ke sana (menurut gw) amat berkesan. Pertama, kita, baik gw maupun Tomy, sama-sama nggak tahu dimana tepatnya Pantai Sundak itu. Kedua, motor kami (baca: ban depan) bocor saat sebentar lagi sampai di Sundak. Kenapa gw tahu sebentar? Karena menurut penduduk setempat (lebih tepatnya tukang tambal ban setempat), Sundak tinggal sekitar 2 km lagi.



Finally, sampai lah kita di pantai sepi tanpa aliran listrik dan hanya mengandalkan swadaya masyarakat setempat dengan menggunakan genset hasil urunan warga dikenal dengan nama Pantai Sundak. Rasanya kata-kata yang gw coba tuangkan dalam tulisan ini nggak cukup mengambarkan keindahan lekuk tubuh pantai itu. Karenanya, monggo dilihat foto-foto yang sempat gw ambil di sana.

Oh iya, tadinya gw pengen ngambil beberapa souvenirs dari Sundak seperti pasir pantai, kerang laut, atau malah kepiting-kepiting kecil. Tapiiii..gw teringat semboyan kelompok pecinta alam (dulu gw juga anak pecinta alam kalii) yang berbunyi “take nothing but picture, kill nothing but time, leave nothing but footprints”. Jadi ngerti lah ya.! *maksa.

Beres dari pantai sepi nun jauh di sana a.k.a Sundak, kami langsung menuju ke Tamansari. Tamansari itu bukan daerah sekitar ITB, Unisba, atau malah Sabuga. Tapi Tamansari ala Yogyakarta adalah tempat pemandian para selir raja Kraton Djogja dulu. Bahkan di tempat itu disediakan tempat raja untuk menonton selir-selirnya mandi. Berikut penampakannya gw ambil dari tempat sang raja menonton. 

 foto ini (tepat di atas) diambil di tempat raja menonton selir-selirnya mandi

Akhirnya Tamansari adalah tempat kunjungan terakhir gw di kota Yogyakarta ini. Setelah dirasa cukup lapar, gw (masih) ditemani Tomy menuju angkringan versi Djogja. And you know what? Dengan harga 7500 rupiah gw bisa makan nasi+tempe (3 bungkus), sate usus (2 tusuk), sate telor (1 tusuk), gorengan (2 buah), dan 1 gelas teh manis hangat. Kalo dikonversi ke harga angkringan versi Bandung menjadi 13000 rupiah. Hampir 2 kali lipatnya bung! Hahaha.
Tiiit..tiiiit.. (eh,jangan jorok!) Begitu bunyi sinyal sms Nokia X3-O2 gw. Ternyata sebuah pesan singkat dari Andi. “Lip, gw nitip oleh2 gelang dong! Thx ya.”

Tiba saat waktu memisahkan kita. Gw harus sudah sampai di stasiun Lempuyangan jam 20.30 karena kereta ekonomi Kahuripan akan bertolak ke Bandung jam 21.30. Nggak lupa gw beli cemilan (tiket juga serta oleh-oleh buat si Andi dan kawan-kawan HMS) sebelum akhirnya berpamitan serta mengucapkan banyak terima kasih kepada Tomy lalu masuk ke dalam kerta ekonomi penuh sesak.

Good morning Bandung! Time to back to the reality. (24 April 2011)

Angka di Nokia X3-O2 gw menunjukkan jam 07.30 dan sinyal sms. Dari Ary Hafiandi: “Lip, mau gw jemput gak?” Langsung gw reply, “Boleh, langsung sini ndi..gw udah nyampe!”
Singkat cerita, Andi berhasil jemput gw dan mengantarkan gw dengan selamat ke kampus. Sebelum dia pergi meninggalkan gw, gw kasih titipannya teriring terima kasih yang tulus dari lubuk sanubari terdalam.

Yak. That was my new experience. Jalan-jalan ke Yogyakarta sendirian. Jadi pesannya adalah jangan takut sendirian! Hahaha. Dan buat teman-teman yang tadi sudah gw sebutkan di atas, terima kasih sebanyak-banyaknya karena kalian telah mengisi beberapa lembar cerita dalam buku kehidupan gw.

Terima kasih Djogja!

Terima kasih kawan!

Terima kasih Tuhan!

Hati-Hati Cita-Cita

Beruntung gw sempat datang di acara kuliah umum Kuya OG yang telah diadakan oleh Departemen Keprofesian Badan Pengurus HMS-ITB, Sabtu, 30 April lalu.

Kuya OG?? Apakah itu?

Adalah sebuah organisasi alumni teknik sipil dan teknik kelautan ITB yang kini berkiprah di dunia industri oil and gas (setelah ini disebut OG). Lalu kenapa harus ada kuliah umum mengenai hal ini? Karena bagi kami, mahasiswa teknik sipil dan teknik kelautan ITB khususnya, belum paham soal prospek pekerjaan di dunia OG yang padahal sudah banyak alumni yang berkiprah di sana.

Oke, cukup untuk introduction nya.

Seorang alumni yang saat itu melakukan pemaparan tentang dunia OG mengatakan sesuatu mengenai cita-cita. Kata beliau, "Hati-hati dengan cita-cita. Kalau kamu bercita-cita terlalu rendah, bisa-bisa tercapai cita-citamu."

Seketika gw berpikir. Lalu kemudian merenungkan kembali kata-katanya. Wajar saja orang tua dahulu selalu bilang "gantungkan cita-citamu setinggi langit". Karena jika kita hanya menggantungkan cita-cita setinggi atap, suatu saat ketika kita mampu membuat tangga kita pasti bisa menggapainya. Tapi lain halnya jika kita memiliki cita-cita setinggi langit. Kita harus bisa membuat pesawat dulu (atau bahkan roket) agar kita bisa mencapainya.

Analogi itu berlaku kepada dua orang yang jika salah satunya bercita-cita ingin lulus tepat waktu dengan IPK tinggi dan yang lainnya bercita-cita hanya sekedar lulus saja. Terlihat kan perbedaannya??

Hati-hati dengan cita-citamu. Karena cita-cita bisa tercapai (dan bisa saja kita menyesal karena tercapai).

Selasa, 08 Maret 2011

sedikit kutipan

Dari Workshop Jurnalistik HMS-ITB 2011 yang baru saja diadakan oleh Depkominfo BP HMS-ITB

melawan arus artinya menuju ke arah hulu dan menuju ke arah hulu artinya berusaha mencapai mata air.
Maka orang yang mampu menemukan mata air adalah orang yang melawan arus.
--Acep--

Jadi masihkah kita mau mengikuti arus?
Atau sepenting apakah kita akhirnya harus melawan arus?