permisiiiii..

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
hanya manusia biasa yang tidak sempurna tapi selalu ingin sesuatu yang luar biasa meskipun sampai harus ke luar angkasa.

Sabtu, 07 Mei 2011

Djogja 40 jam; sebuah perjalanan

From Bandung to Djogja (21-22 April 2011)

Berawal  dari konflik batin antara diri gw dengan banyak hal yang terjadi di sekitar gw, akhirnya gw putuskan untuk pergi ke Djogja seorang diri!!

Sebenarnya prinsip yang gw pegang sangat mudah, “work hard, play must be harder.” Hehehe..
Dimulai dengan diantar Andi ke stasiun Kiaracondong jam 7 malam setelah sebelumnya makan dulu di angkringan versi Bandung. Jam 07.30 sampai di stasiun lalu mulai menunggu hingga jam 08.50-an akhirnya keretanya datang.

Penumpang kala tu membludak. Maklum, namanya juga long weekend, bahkan gw hampir aja nggak terangkut kereta. Alhamdulillah gw masih diizinkan sama Allah untuk tetap berangkat ke Djogja saat itu. Sebenarnya gw cuma dapat “tempat jongkok” (karena memang nggak ada kursinya) di sebuah gerbong yang seharusnya tidak diperbolehkan adanya penumpang disana. Tetapi karena ini adalah special case maka mau nggak mau diperbolehkan juga sama para bapak petugas kereta.

Djogja; the magnificent city (22 April 2011)

Jam di hape Nokia tipe X3-O2 gw menunjukkan angka 7.00 saat gw tiba di stasiun Lempuyangan Yogyakarta. Setelah selesai bebersih dan solat subuh (namanya juga musafir), gw kemudian menunggu djemput oleh Sdr. Tomy Novendri, sahabat sekaligus tour guide  gw di wisata gw kali ini, yang baru datang setelah satu jam kemudian.

Nggak lama kemudian, gw langsung diajak sarapan kombinasi nasi putih-telur dadar-sambal-es milo-gorengan di (tempat yang baru pertama gw denger namanya) Burjo di dekat rumah kontrakan Tomy. Menurut tour guide yang gw sewa, Burjo adalah istilah untuk warung indomie, warung kopi, warung nasi, dan warung bubur kacang ijo yang digabung menjadi satu dan berlaku di setiap sudut kota Djogja!

Oke, tampaknya harus ada beberapa bagian dalam cerita ini yang gw sensor. Misalnya pas gw mandi, ganti baju, dan beberapa hal detail lagi sepertinya nggak perlu gw ceritakan lah yaaaaa....

Lanjut pada saat sore hari gw langsung diajak Sdr. Tomy menuju Benteng Vredeburg. Rencananya sih disana ada sahabat gw juga yang menanti. Sebut saja Sigit (nama sebenarnya). Ternyata oh ternyata ketika gw sampai di benteng, pintu masuk benteng sudah ditutup! Sial! Akhirnya untuk mengobati luka hati gw, Tomy pun menawarkan jasanya untuk mengambil beberapa gambar Benteng Vredeburg disertai dengan adanya gw sebagai penampakan di sana. 


Setelah mengambil cukup gambar (total: 2 foto), bertemu lah kami dengan Bung Sigit. Wah, tidak banyak berubah dia. Hanya saja logatnya sudah menjadi logat wong djogjo.

Git, makan yang enak dimana nih?”, gw akhirnya bertanya setelah dari tadi menahan lapar yang amat sangat menyiksa. Seketika pula Sigit mengajak kami (gw dan Tomy) ke sebuah toko batik di daerah sekitar sana bernama Mirota Batik

Orang laper ko dibawa kesini sih...”, gw bergumam pelan.

Santai liif..”, timpal Sigit. 

Ternyata setelah masuk dan dibawa ke lantai paling atas di toko itu barulah gw terkejut sekaligus terpesona dengan keunikan tempat itu. Ada roof top restaurant di sana. Suasananya pun cukup cozy apalagi dengan sajian menu khas djogja yang amat mengundang selera. Langsung aja gw pesan nasi gudeg dan susu jahe dengan total harga 14.500 rupiah. Mmmm...sepertinya gw nggak perlu njelasin lagi apa itu gudeg dan susu jahe ya kaaan?

Lagi asyik-asyiknya berbincang, tiba-tiba lampu restoran dipadamkan dan lampu panggung di dekat meja kami makan pun dinyalakan. Oooohhh, ternyata akan ada pertunjukkan kabaret malam ini. Tapi ko...gw menangkap sinyal-sinyal keganjilan di sana. Rupanya yg bermain kabaret adalah B to the A to the N to the C to the I alias BANCI!! Sial! Tapi yang justru lebih mengherankan adalah penonton yang hadir di sana kala itu (selain kami bertiga) nampak sangat excited. Namun nggak lama setelah itu teman kami satu lagi, Nurmin (ini baru bukan nama sebenarnya), akhirnya menelpon dan bilang bahwa dia sudah menunggu di alun-alun. Oke, kita cabut daripada makin malam panggung ini (bisa saja) menjadi makin liar...raawwrrrr.!

 ini nih menu utama malam itu

Malam itu begitu indah ketika gw merasa keputusan yang gw ambil adalah keputusan yang amat tepat. Makanya saat gw sampai di alun-alun kidul a.k.a. alkid, gw langsung memesan semangkok wedang ronde seharga 5000 rupiah seraya mengambil hape X3-O2 gw dan mengirimkan sebuah pesan singkat ke beberapa sahabat gw yang sedang ada di Bandung kala itu. Sebenarnya gw gak pengen nyebut nama mereka, tapi karena ada request akan gw sebutkan satu persatu. Sahabat-sahabat gw yang sedang tidak beruntung waktu itu (menurut gw) adalah Dikka Bayu Prihananta (NIM 15008062), Aditya Ramadhan (NIM 15008061), dan, ini yang menurut gw paling kasian (haha), Mohamad Ashyari Sastrosubroto (NIM 15008028). Mengenai isi sms-nya sepertinya mereka bertiga lebih hafal daripada gw pribadi. Hahaha..

Oke, cukup untuk hari pertama gw di Djogja dan seperti yang sudah gw katakan sebelumnya akan ada bagian-bagian tertentu yang gw sensor.....45$%#$$%#$^&*(&

Selamat pagi kota pendidikan!! (23 April 2011)

Disinilah kota pertama kali NKRI benar-benar dibentuk. Maka dari itu tak heran ketika Presiden Soekarno saat itu melakukan suatu Ijab Qobul (serah terima) kekuasaan yang sampai hari ini masih disepakati oleh masyarakat Djogja sehingga ketika Presiden SBY beberapa waktu yang lalu menginginkan sistem gubernur yang dipisah oleh sistem kraton, wong djogjo pun menolaknya.

Oke, kembali ke perjalanan wisata gw yang bertajuk Alone in Djogja.

Setelah cukup sarapan pagi di depan kampus UII, bukan NII, gw dan tour guide gw (Tomy) langsung tancap gas ke arah Pantai Sundak, kira-kira 1.5-2 jam dari kota Yogyakarta. Perjalanan ke sana (menurut gw) amat berkesan. Pertama, kita, baik gw maupun Tomy, sama-sama nggak tahu dimana tepatnya Pantai Sundak itu. Kedua, motor kami (baca: ban depan) bocor saat sebentar lagi sampai di Sundak. Kenapa gw tahu sebentar? Karena menurut penduduk setempat (lebih tepatnya tukang tambal ban setempat), Sundak tinggal sekitar 2 km lagi.



Finally, sampai lah kita di pantai sepi tanpa aliran listrik dan hanya mengandalkan swadaya masyarakat setempat dengan menggunakan genset hasil urunan warga dikenal dengan nama Pantai Sundak. Rasanya kata-kata yang gw coba tuangkan dalam tulisan ini nggak cukup mengambarkan keindahan lekuk tubuh pantai itu. Karenanya, monggo dilihat foto-foto yang sempat gw ambil di sana.

Oh iya, tadinya gw pengen ngambil beberapa souvenirs dari Sundak seperti pasir pantai, kerang laut, atau malah kepiting-kepiting kecil. Tapiiii..gw teringat semboyan kelompok pecinta alam (dulu gw juga anak pecinta alam kalii) yang berbunyi “take nothing but picture, kill nothing but time, leave nothing but footprints”. Jadi ngerti lah ya.! *maksa.

Beres dari pantai sepi nun jauh di sana a.k.a Sundak, kami langsung menuju ke Tamansari. Tamansari itu bukan daerah sekitar ITB, Unisba, atau malah Sabuga. Tapi Tamansari ala Yogyakarta adalah tempat pemandian para selir raja Kraton Djogja dulu. Bahkan di tempat itu disediakan tempat raja untuk menonton selir-selirnya mandi. Berikut penampakannya gw ambil dari tempat sang raja menonton. 

 foto ini (tepat di atas) diambil di tempat raja menonton selir-selirnya mandi

Akhirnya Tamansari adalah tempat kunjungan terakhir gw di kota Yogyakarta ini. Setelah dirasa cukup lapar, gw (masih) ditemani Tomy menuju angkringan versi Djogja. And you know what? Dengan harga 7500 rupiah gw bisa makan nasi+tempe (3 bungkus), sate usus (2 tusuk), sate telor (1 tusuk), gorengan (2 buah), dan 1 gelas teh manis hangat. Kalo dikonversi ke harga angkringan versi Bandung menjadi 13000 rupiah. Hampir 2 kali lipatnya bung! Hahaha.
Tiiit..tiiiit.. (eh,jangan jorok!) Begitu bunyi sinyal sms Nokia X3-O2 gw. Ternyata sebuah pesan singkat dari Andi. “Lip, gw nitip oleh2 gelang dong! Thx ya.”

Tiba saat waktu memisahkan kita. Gw harus sudah sampai di stasiun Lempuyangan jam 20.30 karena kereta ekonomi Kahuripan akan bertolak ke Bandung jam 21.30. Nggak lupa gw beli cemilan (tiket juga serta oleh-oleh buat si Andi dan kawan-kawan HMS) sebelum akhirnya berpamitan serta mengucapkan banyak terima kasih kepada Tomy lalu masuk ke dalam kerta ekonomi penuh sesak.

Good morning Bandung! Time to back to the reality. (24 April 2011)

Angka di Nokia X3-O2 gw menunjukkan jam 07.30 dan sinyal sms. Dari Ary Hafiandi: “Lip, mau gw jemput gak?” Langsung gw reply, “Boleh, langsung sini ndi..gw udah nyampe!”
Singkat cerita, Andi berhasil jemput gw dan mengantarkan gw dengan selamat ke kampus. Sebelum dia pergi meninggalkan gw, gw kasih titipannya teriring terima kasih yang tulus dari lubuk sanubari terdalam.

Yak. That was my new experience. Jalan-jalan ke Yogyakarta sendirian. Jadi pesannya adalah jangan takut sendirian! Hahaha. Dan buat teman-teman yang tadi sudah gw sebutkan di atas, terima kasih sebanyak-banyaknya karena kalian telah mengisi beberapa lembar cerita dalam buku kehidupan gw.

Terima kasih Djogja!

Terima kasih kawan!

Terima kasih Tuhan!

2 komentar:

  1. Lebih seru ke Jakarta naik sepeda, Nyet.

    BalasHapus
  2. Begitu BP turun, liburan bareng lip. Yang lebih alami dan eksotis! Haha.

    BalasHapus